Saat ini, untuk sebagian orang di Indonesia, internet mungkin sudah menjadi kebutuhan pokok. Tapi itu tentu bagi orang-orang yang mampu, dimana kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya seperti rumah, tabungan, atau mungkin juga kendaraan dan barang-barang lainnya sudah terpenuhi. Kalau kebutuhan dasar itu belum terpenuhi, rasanya orang di Indonesia belum memikirkan untuk melakukan aktifitas online seperti ber-Fecebook-ria via internet. Yang pertama didahulukan tentu pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.
Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku bagi masyarakat di Amerika sana. Kemarin saya lihat sebuah tulisan di The Wall Street Journal (WSJ), yang menyampaikan laporan tentang tumbuhnya penggunaan internet di kalangan tunawisma, alias orang yang tidak punya tempat tinggal tetap.
Seperti misalnya Charless Pitts, seorang pria berusia 37 tahun di San Fransisco, yang sudah tunawisma selama dua tahun. Dia punya akun Facebook, MySpace, dan Twitter. Dia mengelola forum di Yahoo, baca berita online, dan selalu terhubung dengan teman-temannya via email. Memang, kata Pak Pitts ini, dia sedikit repot mengelola pola hidup digitalnya dari ‘rumah’nya di kolong jembatan di bawah sebuah jalan layang. Tapi, kata dia lagi, “anda nggak butuh tv, radio, atau koran, tapi anda butuh internet.” Wedew… kere tapi tetap canggih…
Kok bisa ya? Menurut WSJ, komputer murah dan akses internet gratislah yang mendorong terciptanya fenomena itu di sana. Apalagi penduduk di sana kelihatannya sudah sangat aware alias melek dengan komputer dan internet. Banyak hal yang dilakukan secara online, misalnya lamaran kerja atau juga pekerjaan kantor.
Ada seorang Paul Weston, yang telah kehilangan pekerjaan sebagai pramuniaga hotel sejak Desember dan tinggal di penampungan, dan sekarang berkeinginan untuk menjadi programmer komputer. Dengan Macintosh Powerbook-nya yang dia bilang sudah jadi semacam sekoci penyelamat hidup, dia nongkrong di sebuah toko makanan yang ada wireless-internet gratisnya, dia cari pekerjaan dan membuat program komputer untuk dijual. Dia juga mengirim email ke pejabat kota agar kondisi tempat penampungannya diperbaiki.
Lain lagi pengalaman Lisa Stinger yang mengajar komputer dan ketrampilan kerja buat tunawisma dan masyarakat berpendapatan rendah. Menurut dia, orang-orang ini (yang dia ajar maksudnya) sangat-sangat sadar internet. Mereka bela-belain menabung untuk beli komputer/laptop, walaupun beberapa dari mereka bahkan buta huruf lho. Si Lisa Stringer ini bahkan sampai merasa perlu mendesak mereka untuk tidak beli laptop sampai kondisi ekonomi mereka stabil.
Well, itu disana. Dengan kondisi itu, setiap orang jadi memiliki akses yang luas terhadap informasi, terutama informasi online, termasuk buat golongan masyarakat yang kurang mampu.
Bagaimana di sini? Di Indonesia? Wah, sampai tercipta kondisi seperti itu di sini rasanya masih jauh banget. Kenapa? pikir aja sendiri, hehehe…. Banyak sebablah, harga komputer masih mahal. Internet gratis? Bisa ‘gitu? Belum lagi kebutuhan hidup lainnya yang berat biayanya, terutama bagi yang kurang mampu. Yah, bersyukur sajalah, masih bisa internetan, ber-facebook-ria, dan bisa baca blog in.
0 comments:
Post a Comment